Multipel Trauma

                                PENDAHULUAN
Dengan semakin pesatnya kemajuan lalu lintas di Indonesia, baik dari segi jumlah, pemakai jalan, jumlah pemakai jalan jasa angkutan dan bertambahnya jaringan jalan serta kecepatan kendaraan akan meningkatkan angka kejadian trauma.
Kecelakaan lalu lintas sering mengakibatkan trauma dan kita harus waspada kemungkinan multiple trauma yang akan mengakibatkan multiple fraktur dan trauma organ lain seperti kepala, thoraks,organ indra dan pembuluh darah besar.
Kecelakan dapat terjadi tanpa diketahui oleh seseorang kapan ada dan dimana berada. Pada kasus dengan cidera berat, sering menimbulkan kematian dan kecacatan, baik akibat pertolongan yang kurang cepat atau kurang benar. Penderita cedera berat harus mendapatkan pertolongan yang secara cepat dan benar, secepatnya dibawa kerumah sakit yang mempunyai prasarana dan pasilitas yang memadai.
Sekitar 80% dari penderita trauma mengenai sistem muskulo skeletal. 50% pasein gawat darurat meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit dan di rumah sakit.
Pada pasien trauma:
v     50% meninggal pada saat kejadian atau beberapa menit setelah kejadian kerna distruksi otak dan   CNS,jantung aorta dan pembuluh besar lainnya
v     35% meninggal 1-2 jam setelah trauma (the golden hour). Data kematian disebabkan karena:
þ     trauma kepla berat (hemtoma subdural dan epidural)
þ     trauma toraks (hematoma toraks danpeneumotoraks)
þ     trauma abdomen (ruptur limpha dan laserasi hati )
þ     fraktur femur dan pelvis karena pendarahan masif
þ     trauma multiple dan pendarahan.
v     Pencegahan kematian dilakukan pada 1-2 jam dini, dimana harus tidak agresif. Angka kematian trauma di tentukan pada fase ini, 15% meninggal akibat:
þ     mati otak
þ     gagal organ
þ     sepsis
Jadi pada umumnya suvival pasien ditentukan oleh:
þ     Siapa yang pertama kali menolong pasien
þ     Kuaalitas ambulans dan personal ambulans
þ     Pasien dibawa ke IGD yang mampu menanggulangi beratnya kasus yang bersangkutan
þ     Kalau IGD bersangkutan tidak mampu, maka stabilitas yang cepat dan segera dirujuk ke RS dengan fasilitas IGD yang lebih canggih akan dapat menyelamatkan nyawa pasien.
PRINSIP PENANGGULANGAN
Penanggulangan pasien trauma harus di lihat bahwa:
  • Tergantungnya jalan nafas dapat menyebabkan kematian lebih cepat dari pada ketidak mampuan   bernafas.
  • Ketidak mampuan bernafas dapat menyebabkan kematian lebih cepat dari pada kehilangan darah
  • Pendarahan intrakranial adalah keadaan letal yang berikutnya.
Seorang dokter yang menangani kasus trauma harus:
  • Mengerti prinsip dan mampu melakukan “primary survey” dan “secondary survey”.
  • Mampu melakukan resusitasi dan terapi difinitif yang perlu dalam 1-2 jam pertama setelah trauma.
  • Mampu mengidentifikasi pasien, mana harus dirujuk dan melakukan rujukan.
  • Mengenal dan mampu bekerja sesuai protokol bencana pada keadan bencana
  • Selain itu harus mengerti dan mampu melakukan intubasi oro dan nasotrakheal pada orang dewasa maupaun anak kecil/bayi.
  • Mampu menentukan dan melakukan cricotiorodotomi
  • Memberikan infus cairan intra vena yang adekuat.
  • Memasang infus dan CVP dan memonitornya
  • “venous Cutdwon”
  • memasang infasi,deflasi (mengempiskan) dan melepas MAST.
  • Mampu torakosentesis dan memasang WSD serta memonotor / evaluasinya.
  • Mampu perikordienesis .
  • Mampu laase peritoneal.
  • Mampu mengidentifikasi eidera vertebra sevikal pada pemeriksaan maupun X-ray
  • Mampu imobilisasi vertebra servikal dan torako lumbal dan imobilisasi tungkai.
Karena penanggulangan pasien trauma sangat tergantung kepada waktu kecepatan bekerja, maka harus dapat bekerja sesuai urutan tindakan yang berlaku, yaitu :
ý     Kesiap-siagaan
ý     Triage
ý     Primary survey
ý     Resusitasi
ý     Secondary survey  dari kepala sampai ujung kaki
ý     Memonitor dan evaluasi yang berkelanjutan.
KESIAP-SIAGAAN:
Pada fase ini dibagi menjadi pra rumah sakit dan fase rumah sakit
ý     Fase pra rumah sakit(R.S)
Koordinatir antara ambulans 119 dengan rumah sakit dapat memperbaiki kualitas penanggulangan pasien gawat darurat. Idealnya ambulans 119 dapat memberi tahu R.S yang dituju mengenai triage dan biomekanik kecelakaan pasien sebelum meninggalkan tempat kejadian atau waktu perjalanan. Tindakan awak ambulans hanya imobilisasi dan transportasi pasien ke IGD yang sesuai dengan triange pasien, yaitu IGD level 1, 2 dan level 3.
ý     Fase rumah sakit
Desain ruangan dan penyediaan alat atau obat harus di persiapkan untuk menanggulangi pasien gawat darurat terkait secara efesien.
TRIAGE
Triage  adalah seleksi klien sesuai dengan kebutuhan terapi. Terapi yang dilakukan sesuai dengan prioritas A, B, C (A airway dengan kontrol vertebra sevikal, B breathing dan C circulation dengan kontrol pendarahan)
Triage dapat di lakukan dengan di rumah sakit maupun dilapangan supaya tidak melakukan kesalahan  adalah memilih rumah sakit yang dituju ,dua tipe trage yaitu;
ý     Bila jumlah klien tidak melebihi kapasitas rumah sakit/fasilitas kesehatan. Dalam keadaan ini pasien dengan keadaan paling gawat atau cedera multiple didahulukan menanggulanginya (selection of problem)
ý     Bila jumlah pasien melebihi kapasitas rumah sakit/fasilitas kesehatan dalam keadaan ini klien yang mempunyai kemungkinan hidup didahulukan penanggulangannya, disini dilakukan adalah “selection of pasients”
PRIMARY SURVEY
Disini dilakukan identifikasi keadaan yang membahayakan klien dan segera ditanggulangi.
ý     “Airway”
Menjamin kelancaran jalan nafas dan kontrol vertebrae servikalis. Jalan nafas dipertahankan dengan melakukan “chin lift” atau “jaw thrust” dapat juga dengan memasang “guedel” pada klien dengan multiple trauma dan trauma tumpul di atas klavikula kita harus mengagap dan memperlakukan seakan ada fraktur dari vertebra servikalis dengan memasang “neck collar” sampai dibuktikan negatif. Hasil pemeriksaan neurologi yang negatif tidak menyingkirkan ada cedera servikal. Karena itu sebaiknya dibuat X-ray crosstable lateral cervical spino atau swimmer view dan menilai ketujuh vetebra servikal.
Yang sering dilupakan atau tidak disadari:
þ     adanya benda asing pada jalan nafas
þ     adanya fraktur mandibula atau maksilofasial
þ     adanya disrupsi fraktur trakheal atau laringeal
þ     cedera vetebra servical
ý     Breathing dan Ventilasi”
Sebaiknya thoraks harus dapat dilihat semuanya untuk melihat ventilasi. Jalan nafas yang bebas tidak menjamin ventilasi yang cukup, pertukaran udara yang cukup diperlukan untuk oksigenisasi yang cukup. Bila ada gangguan instabilitas kardiovaskuler, respirasi atau kelainan neurologis. Maka kita harus melakukan ventilasi dengan alat “bag valve” yang disambungkan pada masker atau pipa endrokeal. Oksigenisasi  atau ventilasi yang cukup pada klien trauma termasuk memberikan volume dan konsentrasi oksigen (12 liter per menit) yang cukup.
Ventilasi akan terganggu terutama pada tiga keadaan :
þ     tension peneummothoraks
þ     open peneumothoraks
þ     flail chest dengan kontusi paru
pernafasaan yang melebihi 20 kali / menit menandakan gangguan respirasi.
ý     Circulation
Salah satu penyebab kematian di rumah sakit adalah pendarahan yang segera tidak diatasi, ditandai dengan hipotensi yaitu:
þ     kesadaran menurun
þ     warna kulit pucat,kelabu menandakan kehilangan darah lebih dari 30%
þ     nadi cepat dan lemah,ireguler merupakan pertanda hipovolume
Pendarahan bagian luar diatasi dengan balit tekan, jangan peke torniket karena akan mengakibatkan metabolisme anaerobe.sedangkan pada pendarahan tungkai atau abdomend diatasi dengan memakai MAST.
Masalah yang sering dilupakan atau tidak disadari:
þ     cedera intra abdoment dan intratoraks
þ     fraktur femur atau pelvis
þ     luka tusuk yang mengenai arteri-vena
þ     pendarahan eksternal
ý     Disability
Pada akhir primary survey dilakukan pemeriksaan neurologis untuk menentukan:
þ     kesadaran
þ     pupil
þ     reaksi reflek
Kesadaran ditentukan dengan metode AVPU:
þ     A-“Alert”
þ     V-“bereaksi pada vokal stimuli”
þ     P-“bereaksi pada pain stimuli”
þ     U-“unresponsive”
Glascow Coma Scale (GCS) dilakukan pada “primary survey” atau “seconder survey”. Perubahan pada neurologis atau kesadaran klien menunjukkan kelainan intrakranial, dengan demikian kita harus menilai ulang :
þ     Oksigenisasi
þ     Ventilasi
þ     Perfusi
Kehilangan kesadaran dapat disebabkan oleh A-I-U-E-O
þ     A-“alkohol”
þ     I-“injury atau infeksi”
þ     U-“uremia”
þ     E-“ epilepsi”
þ     O-“ opium “ atau other drag
Dapat juga “don”t forget them”
þ     D “diabetes”
þ     F “ fever”
þ     T “trauma”
Masalah yang sering muncul tapi terlupakan oleh kita adalah :
þ     Menurunnya oksigenesasi
þ     Syok
þ     Trauma kepala
þ     Terganggunya kesadaran karena alkohol atau obat lain
ý     Eksposure
Klien harus ditelanjangi untuk pemeriksaan lebih lengkap dan harus diselimuti untuk menghindari hipotermi.
RESUSITASI
ý     Airway pada setiap pasien harus dilihat dan amankan terutama pada pasien yang ventilasinya  tidak cukup. Ini dapat dilakukan dengan:
þ     chin lift
þ     jaw thrust
þ     naso/oropharyngeneal airway
þ     intubasi naso/oropharyngeal sebagai tindakan definitif dengan memperhatikan vertebra servikal. Bila ini tidak dapat dilakukan maka dibuat ”surgical airway” (cricothiroidotomy/trakheostomy)
ý     Breathing/ventilasi/ oksigenasi
Tension pneuthoraks dapat menggangu ventilasi dan harus segera dilakukan dekompresi dan semua pasien trauma harus mendapat suplement oksigen.
ý     Syok
dalam penanggulangan syok karena trauma ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan:
þ     Minimum diperlukan 2 buah slang infus dengan jarum no.16 atau lebih besar.
þ     Kecepatan cairan yang masuk ditentukan oleh diameter lubang jarum dan panjangnya selang bukan oleh besarnya vena.
þ     Infus dimulai pada vena perifer tungkai atas kalau semua gagal dapat dipasang venaseksi pada kaki dengan memotong selang infus yang langsung dimasukan kedalam vena. Dapat juga dipasangpada vena central seperti CVP sesuai dengan kemampuan dokter yang bersangkutan.
þ     Pada waktu memsang infus harus sekalian diambil darah untuk pemeriksaan golongan darah “cross match” dan pemeriksaan darah dasar.
þ     Infus dimulai dengan NaCl atau coloid.
þ     Keadaan syok pada trauma pada umumnya disebabkan karena hipovolemi.
þ     Kalau setelah diberikan 2-3 lt.NaCl,/ koloid, masih syok maka sebaiknya diberikan darah.sebaiknya jangan diberikan lama karna sudah tidak ada trombosit / faktor-faktor pembekuan darahnya.kalau tidak ada yang cocok bisa diberikan darah golongan O.
þ     Syok hipovolemi tidak dapat diatasi dengan vasopresor, steriod NaCl, bikarbonat.
þ     Hipotermi dapat terjadi bila kita memberikan infus/ tranfusi cepat tanpa di panaskan
þ     Kalau ada MAST dapat digunakan pada penanggulangan syok .dan MAST dilepaskan setelah dicapai tekanan darah yang diharapkan tercapai.
þ     Monitor dengan ECG harus dilakukan pada pasien dengan trauma dan diperhatikan:
Ö  disritmia, termasuk taekardia yang tidak dapat dijelaskan,atrialvibrilasi,kontrasi ventrikel yang prematur dan perubahan segment ST menunjukan adanya kontusi jantung. Hipotermi dapat juga menyebabkan terjadinya distrimia
Ö  disosiasi elektromekanik (EMD) menunjukan kemungkinan adanya tamponade jantung”tension peneumothhoraks”/ hipovelemi lanjut.
Ö  Bila ada brakiardi,kondusi aberand dan nadi prematur dicurigai adanya hipoksia dan prefusi jaringan yang rendah.
ý     Kateter urine
Adanya produksi urine merupakan indikator penting tentang volume cairan tubuh. Resisutasi dianggap berhasil jika mulai terdapat produksi urine bila terdapat :
þ     darah pada meatus
þ     hematom pada skrotum
þ     prostat tidak teraba / letak tinggi
maka kateter tidak dipasang sebelum dilakukan uretrogram.
ý     Sonde lambung
Sonde lambung dapat menghindari terjadinya distensi lambung dan aspirasi paru. Pada trauma tumpul kepala, terutama bila ada darah tidak beku pada mulut, hidung atau telinga, pemasangan sonde lambung dapat masuk ke dalam tengkorak (fraktur “cribrifron plate”) Dalam keadan demikian sebelum dipasang sonde lambung sebaiknya dilakukan test ”halo” (ekimosi periobital) atau “doble ring” (cairan tersebut ditempatkan pada kertas filter, bila ini cairan cerebrospinal maka akan terbentuk dua lingkaran)
ý     Monitor
Hasil resusitasi dapat dinilai dengan memperhatikan nilai perbaikan kualitatif dari parameter fisiologis seperti pernafasan (ventilasi), nilai tekanan darah, tekanan nadi, gas darah, arteri dan produksi urine.
þ     Jumlah ventilasi dan gas darah arteri dapat dipakai untuk memonitor jalan nafas dan pernafasan.
þ     “end tidal carbon dioksida” dapat dipakai untuk menilai kalau ETT terlepas waktu memindahkan atau transportasi pasien.
þ     “pulse oxymetery” sangat penting untuk memonitor pasien dengan trauma pulse oxymeter dapat mengukur saturasi oksigen dari hemaglobin tetapi tidak memberi nilai PaO2 oksigenasi yang cukup menunjukan adanya jalan nafas. Pernafasan dan sirkulasi yang baik.
þ     Tekanan darah dapat diukur, tetapi harus diingat bahwa ini tidak menunjukan adanya perfusi yang baik.
ý     Rujukan
Perlu di ingat bahwa pada “primary survey” kelainan pada jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi harus segera ditanggulangi tanpa menunggu selesainya “primary survey” setelah “primary survey” kita mendapat cukup imformasi untuk menentukan apakah pasien perlu dirujuk atau tidak. Proses rujuk dilakukan oleh personalia dari administrasi dan dokter yang akan menerima pasien harus diberi tahu mengenai keadaan, kedatangan dan cara evakuasi (darat, laut atau udara)
ý     X-ray
Pembuatan X-ray tidak boleh menghambat resusitasi. 3 macam X-ray yang boleh dilakukan:
þ     Lateral dari vetebra spinalis
þ     AP thoraks
þ     AP pelvis
Ketika X-ray tersebut harus dilakukan druang resusitasi dengan alat X-ray protabel. Pada fase Primary survey dapat dilakukan X-ray dari “open mouth odontoid” dan AP thorakolum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aan Chacamata © 2008. Design by :Yanku Templates Sponsored by: Tutorial87 Commentcute